Semua Kampus Sama Saja Tergantung Orangnya: Sebuah Perspektif Mahasiswa dan Implikasinya

Table of Contents


Langit pagi di salah satu kampus terbaik negeri ini selalu tampak biru cerah, seolah melambangkan semangat dan ambisi yang mengisi udara. Laras, seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu PTN Top 10 Indonesia, berjalan melewati lorong-lorong fakultas yang dikelilingi gedung modern. Pagi itu, dia baru selesai presentasi tugas kelompok yang membahas isu sosial-ekonomi dengan analisis berbasis jurnal internasional. Di tangannya tergenggam setumpuk buku, sementara pikirannya dipenuhi strategi untuk mengajukan aplikasi beasiswa pertukaran pelajar ke Belanda yang baru diumumkan dosennya.

“Kamu ikut apply nggak, Ras?” tanya Maya, sahabat sekaligus rekan satu kelompoknya.

Laras tersenyum kecil. “Tentu saja. Kesempatan ke universitas di Belanda itu nggak datang dua kali. Kamu gimana?”

“Aku pikir-pikir dulu. Proses seleksinya berat banget, kan? Tapi ya, di kampus kita, kesempatan kayak gini emang sering muncul,” jawab Maya sambil melipat tangan di dada.

Fasilitas di kampus mereka memang luar biasa. Gedung-gedung berdesain modern dilengkapi laboratorium berstandar internasional. Perpustakaannya memiliki akses ke ribuan jurnal global. Program akselerasi seperti fast-track S1-S2 dalam 4,5 tahun atau dual degree dengan universitas luar negeri adalah hal yang lumrah. Selain itu, relasi dengan perusahaan besar dan instansi pemerintah membuka jalan karier luas bagi mahasiswanya.

Namun, Laras sadar bahwa tidak semua mahasiswa memanfaatkan fasilitas ini. Banyak teman-temannya yang memilih jalur “kuliah-pulang” tanpa aktif berorganisasi, mengikuti penelitian, atau mencoba program magang. Sebaliknya, Laras memastikan dirinya menggunakan semua peluang yang ada, menyadari betapa beruntungnya ia bisa mengenyam pendidikan di kampus ini. “Sayang banget kalau disia-siakan,” gumamnya dalam hati.

Di sisi lain, ada Galih, sepupu Laras yang berkuliah di sebuah PTN peringkat menengah di kota kecil. Gedung fakultasnya sederhana, dengan dinding-dinding yang memudar dan fasilitas yang jauh dari mewah. Pagi itu, Galih duduk di ruang kelas, mencoba memahami tugas mata kuliah metodologi penelitian. Baru semester ini dia dikenalkan dengan jurnal akademik, dan itu pun hanya sepintas melalui penjelasan dosen yang lebih sering membaca slide daripada memandu diskusi.

“Ini gimana sih cara nyari jurnal?” keluh seorang teman di sebelahnya.

“Coba pakai Google Scholar dulu,” jawab Galih sambil menghela napas. “Gue juga baru belajar. Kayaknya begitu caranya.”

Diskusi teoretis jarang terjadi di kampusnya. Tugas-tugas lebih sering bersifat deskriptif, tanpa tuntutan berpikir kritis. Galih merasa iri setiap kali melihat unggahan media sosial Laras yang menampilkan berbagai aktivitas kampusnya. Dunia Laras tampak begitu berbeda – dunia yang menawarkan lebih banyak peluang.

Galih ingat perbincangannya dengan Laras saat liburan keluarga beberapa bulan lalu. “Kak, gimana rasanya kuliah di kampus elit kayak gitu?” tanyanya penuh penasaran.

Laras tersenyum. “Beda banget, Lih. Dari awal kita udah diajarin berpikir kritis. Bahkan tugas kecil pun harus pakai referensi jurnal. Fasilitasnya lengkap, dan dosen-dosennya sering libatkan mahasiswa dalam proyek penelitian.”

Galih hanya mengangguk, merasa kecil hati. “Pasti susah ya, masuk sana?” gumamnya pelan.

“Susah di awal, tapi kalau udah masuk, semua usaha bakal terbayar. Di kampus kamu juga pasti ada peluang kok, asal kamu aktif nyari,” jawab Laras mencoba menyemangatinya.

Laras tidak hanya bicara teori. Dia adalah contoh nyata mahasiswa PTN Top 10 yang mengoptimalkan fasilitas kampus. Dari mengikuti lomba debat internasional, magang di kementerian, hingga menjadi asisten dosen, Laras memastikan semua pengalamannya tercatat dalam portofolionya. Baginya, kuliah di kampus elit adalah investasi besar untuk masa depan.

Namun, Laras juga menyadari bahwa privilege ini tidak selalu dihargai. Banyak teman-temannya yang mengeluh tentang tugas yang berat atau tekanan akademik yang tinggi. Ada yang akhirnya memilih berhenti di tengah jalan, sementara yang lain menjalani perkuliahan sekadarnya tanpa mengeksplorasi potensi mereka.

“Kadang aku nggak ngerti, kenapa mereka nggak manfaatin semua ini? Padahal banyak banget yang pengen masuk sini,” kata Laras suatu hari kepada Maya.

“Mungkin mereka belum sadar seberapa penting pengalaman ini untuk masa depan,” jawab Maya sambil tersenyum kecil.

Sementara itu, di kampus Galih, suasana perkuliahan terasa jauh berbeda. Mahasiswa di sana harus mengandalkan usaha mandiri untuk mencari informasi tentang program beasiswa atau magang. Galih, yang memiliki tekad kuat untuk maju, sering merasa frustrasi dengan keterbatasan di kampusnya. Namun, dia tahu menyerah bukan pilihan.

“Kenapa fasilitas di sini nggak kayak di kampus Laras? Kalau aja ada, mungkin aku bisa lebih berkembang,” pikirnya suatu malam. Dia mulai aktif mencari informasi sendiri, mengikuti webinar, dan bergabung dengan komunitas online. Meski jalannya lebih sulit, Galih percaya bahwa kerja keras adalah kunci untuk membuktikan dirinya.

Ketimpangan antara PTN Top 10 dan PTN peringkat menengah ini terasa hingga ke dunia kerja. Laras, yang baru lulus, mendapat tawaran bekerja di perusahaan multinasional bahkan sebelum wisudanya. Nama besar kampusnya menjadi tiket emas yang membuka pintu-pintu peluang. Sebaliknya, Galih harus menghadapi proses seleksi yang jauh lebih ketat. Dalam wawancara kerja, dia merasa harus bekerja lebih keras untuk membuktikan kemampuannya.

“Lulusan mana?” tanya seorang pewawancara dalam sesi seleksi kerja.

“Universitas X, Pak,” jawab Galih, menyebut nama kampusnya yang kurang dikenal secara nasional.

Pewawancara mengangguk datar. “Ceritakan pengalaman Anda selama kuliah.”

Galih tahu ini adalah momen penentu. Dia menceritakan pengalamannya memanfaatkan segala peluang yang ada, meski terbatas. Dia berbicara tentang organisasi yang diikutinya, proyek sosial yang dijalankan, dan bagaimana dia terus belajar secara mandiri. Hasilnya? Galih diterima. Meski jalannya lebih sulit, kerja kerasnya terbayar.

Cerita Laras dan Galih mencerminkan realitas pendidikan tinggi di Indonesia. Privilege yang dimiliki mahasiswa PTN Top 10 memang nyata, memberikan keunggulan signifikan sejak awal. Namun, seperti yang sering dikatakan Laras kepada teman-temannya, privilege ini harus dimanfaatkan dengan maksimal. Sementara itu, Galih adalah bukti bahwa meskipun tantangan lebih besar, usaha keras tetap bisa membawa kesuksesan.

Tidak semua orang memulai perjalanan dari garis start yang sama. Namun, bagaimana mereka berlari dan memanfaatkan kesempatan yang ada adalah penentu akhir cerita mereka.

Oleh: Auman

Posting Komentar