Analisis Manajemen Makanan dalam Kasus Keracunan Program Makan Gratis (MBG)

Daftar Isi


Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintah belakangan menjadi sorotan setelah beberapa kejadian keracunan massal. Rentetan kasus di Cianjur, Bombana (Sulawesi Tenggara), Bandung, dan Tasikmalaya menunjukkan siswa mengalami gejala keracunan (pusing, mual, muntah) seusai menyantap menu MBG. Misalnya, di Cianjur puluhan siswa dilarikan ke rumah sakit karena keracunan MBG, sedangkan di Bombana keracunan massal diduga disebabkan oleh ayam busuk dalam menu MBG. Di Bandung tercatat 342 siswa mengalami gejala serupa, sementara di Tasikmalaya sebanyak 24 siswa diperiksa (8 di antaranya rawat inap) karena keracunan usai makan MBG.

Menurut BPOM, WHO memperkirakan ada 600 juta kasus keracunan makanan per tahun di dunia (420.000 kematian). Angka ini menegaskan urgensi pengelolaan keamanan pangan, terutama bagi program yang menyasar jutaan orang. Wakil CISDI menegaskan bahwa satu kasus keracunan dalam program pemerintah tidak boleh dianggap remeh. Organisasi ini juga mencatat bahwa penerapan standar keamanan pangan (seperti HACCP) dalam pelaksanaan MBG masih belum optimal, sehingga manajemen makanan program pemerintah perlu dievaluasi ulang.

Penyimpanan Makanan: Standar dan Risiko

Penyimpanan bahan pangan merupakan titik kendali kritis dalam mencegah kontaminasi. Badan POM mensyaratkan setiap produk pangan disimpan dalam kondisi suhu dan kelembaban tertentu sesuai jenisnya. Misalnya, bahan hewani (daging, ayam, ikan, susu) sebaiknya disimpan dalam sistem rantai dingin (di bawah C) guna mencegah pertumbuhan patogen. Sebaliknya, setelah dimasak, makanan harus disajikan dalam suhu tinggi (>60°C) atau segera didinginkan jika tidak langsung dikonsumsi. Pedoman Kemenkes mengingatkan agar makanan matang tidak dibiarkan pada suhu ruang lebih dari 4 jam.

Jika penyimpanan tidak sesuai rentang aman (zona bahaya ~5–60°C), mikroba seperti Salmonella, E. coli, dan Clostridium perfringens dapat berkembang cepat dan menghasilkan toksin berbahaya. Staphylococcus aureus, misalnya, mampu membuat enterotoksin tahan panas apabila makanan yang terkontaminasi dibiarkan terlalu lama pada suhu ruang. Studi IPB melaporkan bahwa S. aureus sering berasal dari penjamah dengan higiene rendah, sedangkan Bacillus cereus (penyebab khas keracunan nasi) muncul dari penanganan nasi yang tidak higienis. Faktor kelembaban juga berpengaruh: kelembaban tinggi memicu pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin. BPOM mengamanatkan ventilasi udara yang baik untuk gudang pangan agar pertumbuhan jamur dan bakteri dapat dikendalikan. Gabungan kondisi suhu, kelembaban, dan durasi penyimpanan yang tidak terkontrol inilah yang membuat penyimpanan makanan berisiko keracunan dalam skala massal.

Praktik pengolahan makanan dalam jumlah besar membawa tantangan tersendiri. Semua peralatan masak dan wadah saji harus benar-benar bersih, bahan mentah dipisahkan dari makanan matang, dan petugas wajib mencuci tangan secara rutin. Menurut pakar, semakin lama jeda antara proses memasak dan waktu konsumsi, semakin tinggi potensi kontaminasi mikroba. Idealnya makanan harus segera didistribusikan dalam waktu 2 jam setelah matang; jika terpaksa disimpan lebih dari 4 jam tanpa pendinginan, risiko bakteri seperti Clostridium perfringens meningkat drastis.

Selain itu, makanan berskala besar harus selalu ditutup rapat selama penyimpanan atau transportasi untuk menghindari pencemaran silang. Petugas katering juga perlu dilatih mengenali tanda makanan basi (misalnya bau asam, lendir, muncul jamur) sebelum dikemas atau disajikan. Semua langkah pengolahan dan distribusi seharusnya didokumentasikan (waktu dan suhu simpan, identitas petugas) untuk memudahkan penelusuran. Kegagalan mematuhi SOP kebersihan atau sanitasi dapat berakibat buruk; kasus MBG menunjukkan betapa cepatnya kontaminasi dapat memicu wabah di populasi luas.

Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Mikroba

Lingkungan penyimpanan dan penyajian (suhu, kelembaban, waktu simpan) sangat mempengaruhi laju pertumbuhan patogen. Secara umum, banyak bakteri patogen tumbuh optimal pada suhu kamar (20–40°C). Clostridium perfringens dan Bacillus cereus, misalnya, menjadi risiko utama jika makanan kaya protein atau karbohidrat dibiarkan di suhu ruang terlalu lama (misal kari daging atau nasi matang banyak sekaligus). Staphylococcus aureus mampu memproduksi toksin yang tahan panas, sehingga pemanasan ulang saja tidak cukup jika toksin sudah terbentuk. Kelembaban tinggi di ruang penyimpanan juga mendukung pertumbuhan jamur (misalnya Aspergillus atau Penicillium) yang menghasilkan mikotoksin pada makanan. Pedoman HACCP mengharuskan pengendalian aktivitas air (aw) bahan dan kelembaban udara sebagai bagian dari standar sanitasi. Singkatnya, kombinasi suhu tidak aman, kelembaban tinggi, dan waktu simpan lama menciptakan situasi penyimpanan makanan berisiko keracunan jika tidak dikendalikan.

Studi Pustaka: Manajemen Katering dan Keamanan Pangan

Berbagai penelitian mendukung temuan tersebut. Puspitarini & Wulandari (UI) menganalisis katering terpadu di sebuah pesantren, dan menemukan praktik katering belum memenuhi syarat higiene sanitasi sesuai Permenkes 1096/2011. Mereka mencatat penyimpanan bahan dan penyajian makanan belum sesuai standar, serta pengetahuan petugas keamanan pangan yang rendah. Riset IPB juga melaporkan kasus kontaminasi Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus dalam makanan siap saji. Data tersebut menunjukkan S. aureus sering muncul dari penjamah dengan higiene buruk, sedangkan B. cereus terkait nasi yang ditangani tidak higienis. Simpulan kajian ini konsisten dengan prinsip HACCP internasional: tanpa pengelolaan suhu, sanitasi, dan waktu yang ketat, katering masal sangat rentan menyebabkan penyakit bawaan pangan.

Rekomendasi Perbaikan Program

Berdasarkan tinjauan di atas, beberapa rekomendasi perbaikan program MBG dapat diajukan:

  1. Desentralisasi Pengelolaan: Alihkan operasional dapur MBG ke pemerintah daerah dan libatkan komunitas setempat. Pengawasan lokal dan pengetahuan situasional lebih baik akan meningkatkan kepatuhan standar keamanan pangan.

  2. Implementasi HACCP dan SOP Ketat: Terapkan semua elemen HACCP di setiap dapur MBG, sesuai SNI 01-4852 dan Permenkes 1096/2011. Setiap titik kritis (penerimaan bahan, pengolahan, penyimpanan, distribusi) harus diaudit rutin dan tercatat.

  3. Manajemen Rantai Dingin: Sediakan fasilitas penyimpanan bersuhu tepat (kulkas, freezer) serta armada berpendingin untuk distribusi. Dokumentasikan pengiriman dan lembar kontrol suhu untuk memastikan standar BPOM terpenuhi.

  4. Pelatihan dan Edukasi Petugas: Tingkatkan pelatihan keamanan pangan bagi juru masak dan petugas katering (hygiene, SOP). Edukasi penerima manfaat (siswa) juga diperlukan, misalnya mengenali ciri makanan basi sebelum dikonsumsi.

  5. Seleksi Bahan Baku Berkualitas: Gunakan bahan mentah segar bermutu sesuai standar gizi. Hindari produk ultra-olahan tinggi gula, garam, dan lemak karena rentan menimbulkan masalah mutu dan kesehatan. Pastikan tanggal kedaluwarsa dan rantai dingin terpenuhi.

  6. Audit dan Pemantauan Kesehatan: Lakukan inspeksi rutin oleh Dinas Kesehatan dan BPOM di setiap dapur MBG. Jika terjadi indikasi keracunan, segera ambil sampel makanan untuk uji mikrobiologi dan lacak sumber kontaminasi.

Dengan menerapkan rekomendasi tersebut, manajemen MBG dapat diperbaiki. Penguatan prinsip keamanan pangan (HACCP), pengawasan ketat pada penyimpanan dan distribusi, serta pelibatan masyarakat diharapkan mencegah terulangnya kasus keracunan MBG di masa depan.

Sumber: Berbagai literatur dan pedoman keamanan pangan nasional serta global (BPOM, WHO, HACCP) dipergunakan untuk analisis ini ugm.ac.id ayosehat.kemkes.go.id kompas.id journal.ipb.ac.id.

Posting Komentar