Sudewo, PBB, dan Pati: Antara Demokrasi dan Realitas Rakyat

Table of Contents


Sudewo, bupati Pati terpilih periode 2025–2030, sedang menghadapi ujian kepemimpinan yang berat. Ia naik dengan kemenangan demokratis, namun legitimasinya kini dipertanyakan karena kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak tinggi. Realitas politik dan sosial saling bertubrukan.

Kenaikan PBB yang disebut mencapai ratusan persen, langsung menghantam warga kecil: petani, pedagang, hingga pensiunan desa. Bagi mereka, angka itu bukan teori pajak. Itu adalah potongan langsung dari hasil sawah dan nafkah harian.

Demonstrasi pun bermunculan. Aliansi warga turun ke jalan, membawa spanduk dan teriakan protes. Mereka menganggap kebijakan ini tidak komunikatif, bahkan dianggap sepihak. Bagi banyak orang, ini bentuk “keblinger” pemerintah daerah yang abai pada rakyatnya.

Pernyataan Sudewo bahwa ia “dipilih secara demokratis” menegaskan posisi politiknya. Namun, kalimat itu terasa hambar di telinga rakyat yang sedang cemas. Demokrasi tidak bisa dijadikan tameng kebijakan tanpa empati sosial.

Legitimasi politik memang penting, tapi legitimasi moral jauh lebih vital. Demokrasi yang sehat seharusnya mendengar, bukan hanya bicara. Sayangnya, publik membaca kalimat itu sebagai jarak, bukan kedekatan. Di sinilah krisis kepemimpinan mulai terasa.

Beban Pajak dan Luka Sosial

Kebijakan fiskal sering dianggap teknis, tapi bagi rakyat kecil dampaknya sangat nyata. Kenaikan PBB bisa berarti pengurangan biaya sekolah anak, menunda biaya kesehatan, atau bahkan menjual aset kecil demi bertahan hidup.

Di Pati, petani sudah akrab dengan istilah mboten—jawaban sopan ketika tak mampu. Kini, “mboten” jadi refleksi sehari-hari: mboten mampu bayar pajak, mboten bisa menutup kebutuhan rumah, mboten kuat menghadapi tekanan ekonomi.

Kemarahan publik tidak datang dari ruang kosong. Mereka merasa tidak dilibatkan. Tidak ada forum diskusi yang memadai sebelum kebijakan ini diluncurkan. Padahal, musyawarah adalah tradisi Jawa yang seharusnya dijunjung.

Keterkejutan itulah yang menciptakan luka sosial. Warga merasa diperlakukan sebagai objek kebijakan, bukan subjek yang punya suara. Politik top-down, meski sah secara hukum, kehilangan legitimasi sosial.

Demo di depan kantor bupati, orasi mahasiswa, hingga desakan mundur adalah gejala dari satu penyakit: hilangnya rasa keadilan publik. Dan penyakit ini berbahaya, karena bisa merusak kepercayaan jangka panjang.

Retorika vs Realitas

Sudewo menolak mundur, dengan argumen sah: ia dipilih rakyat. Namun, apakah itu cukup? Dalam budaya Jawa, kata nggih tidak hanya berarti “ya”, tetapi juga mengandung kerendahan hati. Pemimpin sejati harus berani berkata “nggih” pada kritik rakyat.

Retorika politik tanpa aksi nyata hanya akan memperbesar jarak. Rakyat butuh klarifikasi, data transparan, dan solusi konkrit. Janji abstrak atau klaim demokratis tidak mampu menenangkan keresahan perut yang lapar.

Kenyataan bahwa sebagian besar protes datang dari kelas bawah membuat isu ini semakin sensitif. Jika pemimpin tidak segera menanggapi dengan langkah nyata, ia akan kehilangan wibawa politik lebih cepat dari yang dibayangkan.

Apalagi, di era digital, isu lokal cepat menjadi nasional. Sorotan media membawa Pati ke panggung nasional, bukan karena prestasi, tapi karena kegaduhan. Sebuah situasi yang jelas merugikan reputasi daerah.

Publik dan Transparansi

Selain soal PBB, isu harta kekayaan pejabat juga ramai dibicarakan. Publik bertanya: bagaimana pejabat bisa hidup makmur sementara rakyatnya dipaksa menanggung beban berat? Kecurigaan itu muncul bukan tanpa sebab, melainkan dari jurang kesenjangan.

Dalam iklim demokrasi sehat, transparansi adalah kunci. Rakyat ingin tahu ke mana uang pajak mengalir. Jika memang digunakan untuk pembangunan, tunjukkan datanya. Jika ada salah hitung, akui, lalu perbaiki. Itu sederhana, tapi sering dihindari pejabat.

Keengganan mengakui kesalahan menjadi racun dalam politik. Publik tidak menuntut kesempurnaan, tapi kejujuran. Dan kejujuran itu yang sering hilang dalam ruang birokrasi.

Audit independen bisa menjadi jalan keluar. Tidak hanya meredakan amarah publik, tapi juga membersihkan nama bupati sendiri. Jika benar tidak ada yang disembunyikan, mengapa harus takut pada audit?

Belajar dari Kearifan Lokal

Dalam tradisi Jawa Pati, kata sampun bermakna sudah selesai atau sudah cukup. Tapi dalam konteks kepemimpinan, sampun juga bisa berarti sudah waktunya introspeksi. Apakah kebijakan ini sudah tepat? Apakah rakyat sudah benar-benar siap?

Pemimpin bijak tidak hanya berpegang pada angka-angka pajak, tapi juga pada rasa sosial. Di desa, gotong royong masih hidup. Warga saling membantu saat panen gagal atau saat ada yang kesulitan. Pemerintah seharusnya meniru, bukan malah menekan.

Seorang kolumnis senior pernah berkata, “Politik adalah seni merawat harapan.” Jika benar, maka tugas pemimpin adalah menjaga agar rakyat tetap percaya bahwa negara hadir untuk mereka, bukan menindas.

Jalan Tengah yang Terlupakan

Opini ini mungkin dianggap tidak populer karena menolak logika hitam-putih. Saya tidak menuntut Sudewo mundur, tapi juga tidak membela kebijakan PBB secara buta. Yang saya tuntut adalah jalan tengah: revisi, dengarkan rakyat, lalu perbaiki.

Di banyak daerah, kebijakan fiskal bisa sukses karena dikomunikasikan dengan baik. Ada masa transisi, ada keringanan bagi warga kecil, ada sosialisasi yang jelas. Di Pati, semua itu terasa hilang. Yang muncul hanya angka mengejutkan.

Dialog publik menjadi solusi. Forum terbuka dengan DPRD, akademisi, tokoh desa, hingga perwakilan petani bisa meredakan tensi. Transparansi bukan kelemahan, melainkan jalan menuju kepercayaan kembali.

Jika langkah-langkah itu ditempuh, rakyat mungkin akan berkata nggih—setuju dengan penuh ikhlas. Tapi jika pemimpin terus bertahan dengan retorika, maka kata mboten akan lebih sering terdengar.

Ujian Kepemimpinan Sejati

Kepemimpinan sejati bukan diukur dari kemenangan pilkada, tetapi dari cara menghadapi krisis. Saat kebijakan populer, semua bisa tersenyum. Tapi ketika kebijakan ditolak rakyat, di situlah terlihat siapa pemimpin sebenarnya.

Bupati Pati kini sedang diuji. Ia bisa memilih bertahan dengan ego politik, atau menurunkan diri untuk berdialog dengan rakyatnya. Pilihan itu akan menentukan apakah ia dikenang sebagai pemimpin arif atau sekadar penguasa yang keras kepala.

Sejarah mencatat, pemimpin yang mau mendengar lebih dihormati ketimbang yang hanya bicara. Bahkan di era kerajaan Jawa, raja bijak selalu memberi ruang bagi kritik dari rakyat kecil. Mengapa kini tradisi itu hilang?

Jika Sudewo berani mengakui salah langkah dan memperbaiki kebijakan, ia justru akan mendapat simpati. Publik akan melihatnya sebagai manusia, bukan robot birokrasi. Dan itu lebih kuat daripada sekadar kemenangan formal.

Pati Butuh Pemimpin yang Membumi

Opini ini ditutup dengan harapan sederhana: semoga Pati tidak terjebak dalam lingkaran konflik berkepanjangan. Rakyat butuh pemimpin yang membumi, yang hadir di sawah, di pasar, di warung kopi, mendengar langsung keluhan sehari-hari.

Kebijakan fiskal memang penting untuk pembangunan. Tapi pembangunan tanpa keadilan sosial hanyalah beton tanpa jiwa. Dan beton tanpa jiwa akan cepat retak.

Bupati Sudewo punya kesempatan emas membalik keadaan. Dari krisis, ia bisa lahir sebagai pemimpin yang lebih peka, lebih rendah hati, dan lebih dihormati. Atau sebaliknya, jika keras kepala, ia akan menjadi simbol luka sosial Pati.

Kepemimpinan bukan tentang bertahan di kursi, tapi tentang merawat kepercayaan. Dan kepercayaan hanya lahir dari kejujuran, keberanian, dan kesediaan untuk berkata nggih pada rakyat, meski itu pahit [zr].

Posting Komentar