Diaspora dan Sumpah yang Belum Selesai
Di tengah gegap gempita peringatan Sumpah Pemuda yang penuh seremoni, sekelompok anak muda Indonesia di Melbourne memilih cara berbeda untuk mengingatkan makna sejatinya. Mereka berpakaian hitam, berdiri di depan gedung Konsulat Jenderal RI, dan membacakan Maklumat Indonesia Bergerak—sebuah seruan agar Indonesia kembali kepada rakyatnya.
Maklumat itu berisi tujuh poin penting, di antaranya penolakan terhadap militerisme dalam kehidupan sipil dan tuntutan penegakan supremasi sipil. Gerakan ini tidak lahir dari ruang politik formal, tetapi dari ruang solidaritas lintas negara, dari mahasiswa, pekerja, dan intelektual diaspora yang menolak diam di hadapan kemunduran demokrasi di tanah air.
Kritik dari Jauh, Cinta yang Dekat
“Ini bentuk kepedulian karena kami cinta Tanah Air,” kata Ulya Niami Jamson, kandidat doktor filsafat di University of Melbourne. Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, tapi di dalamnya ada makna yang subversif: cinta Tanah Air tidak berarti patuh kepada negara. Cinta berarti berani menegur ketika kekuasaan menyeleweng.
Dalam setahun pemerintahan Prabowo-Gibran, arah politik dan tata kelola negara dinilai makin menjauh dari prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Kebijakan populis tanpa basis riset, pembatasan kebebasan berpendapat, kriminalisasi terhadap aktivis, hingga perluasan struktur militer di ranah sipil menunjukkan gejala klasik: kembalinya politik kontrol atas nama stabilitas.
Ekspansi militer yang disebut sebagai “pembangunan nasional” sebenarnya menyimpan logika lama: menjadikan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Presiden Prabowo membentuk enam Kodam baru, 20 brigade teritorial, dan 100 batalion “pembangunan”—yang menurut peneliti Antonius Made Supriatma merupakan bentuk militerisasi luar biasa besar.
Pertanyaannya sederhana: untuk siapa pembangunan ini dilakukan, jika rakyat justru diminta diam?
Militerisasi dan Ketakutan yang Menyebar
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa ketika militer masuk ke ruang sipil, hak-hak rakyat selalu menjadi korban. Dari represi pasca-1965 hingga kekerasan di masa Reformasi, militerisme selalu meninggalkan jejak penderitaan bagi kelas pekerja, mahasiswa, dan warga biasa.
Kini, pola itu muncul kembali—lebih rapi, lebih halus, dan lebih berbahaya. Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber, misalnya, memberi wewenang besar kepada penyidik militer dalam mengawasi ruang digital. Jika disahkan, undang-undang itu berpotensi menghapus ruang kebebasan berekspresi yang tersisa.
Sementara itu, di kampus-kampus, penundukan intelektual mulai terasa. Simposium mahasiswa UGM bertajuk “Menyiapkan Revolusi” tiba-tiba kehilangan poster digitalnya. Para dosen yang kritis memilih diam, sebagian karena takut, sebagian karena sudah terlalu dekat dengan kekuasaan.
Sebagaimana dikatakan Herdiansyah Hamzah dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), ketika kampus kehilangan keberanian untuk berpikir kritis, demokrasi kehilangan benteng terakhirnya.
Suara dari Luar Negeri, untuk Rakyat di Dalam Negeri
Gerakan Indonesia Bergerak menunjukkan bahwa demokrasi tak mengenal batas geografis. Diaspora—yang sebagian besar adalah buruh, mahasiswa, dan peneliti—menjadi saksi betapa ruang kebebasan bisa dikelola tanpa represi. Mereka memanfaatkan pengalaman itu untuk menegur negara sendiri.
Dalam maklumat yang mereka serahkan ke KJRI Melbourne, diaspora menuntut agar militer kembali ke barak, kepolisian ditata ulang, dan kebrutalan aparat dihentikan. Mereka juga menyerukan penghentian kriminalisasi terhadap aktivis demokrasi, lingkungan, dan hak asasi manusia.
Gerakan ini bukan sekadar pernyataan moral, melainkan refleksi politik kelas pekerja global: solidaritas dari mereka yang pernah mengalami penindasan, kini menolak melupakan akarnya.
Menolak Lupa, Menolak Tunduk
Kementerian Luar Negeri menanggapi aksi diaspora dengan nada birokratis—meminta agar aspirasi disampaikan “secara tertib dan damai”. Tapi demokrasi yang sejati tak tumbuh dari ketertiban yang mematikan kritik. Ia tumbuh dari keberanian rakyat untuk menolak tunduk.
Seratus tahun setelah Sumpah Pemuda, kita masih dihadapkan pada pertanyaan lama: siapa yang sejatinya memiliki republik ini? Oligarki yang memegang kuasa ekonomi dan politik, atau rakyat yang setiap hari bekerja, belajar, dan berjuang di bawah bayang-bayang ketidakpastian?
Sumpah Pemuda seharusnya bukan sekadar seremoni nasionalisme, melainkan sumpah untuk menolak ketimpangan, penindasan, dan penyeragaman suara. Gerakan diaspora mengingatkan kita bahwa sumpah itu belum selesai—dan perjuangan untuk menegakkan kedaulatan rakyat masih panjang.
Sebab, sebagaimana mereka serukan dari Melbourne hingga Toronto:
“Indonesia milik rakyat, bukan milik penguasa.”

Posting Komentar