Enam Jaksa Jakarta Barat Terjerat Kasus Suap Barang Bukti Investasi Bodong, Kejaksaan Agung Cuma Beri Sanksi Etik

Table of Contents


Kejaksaan Negeri Jakarta Barat kembali disorot publik setelah terungkapnya penggelapan uang hasil barang bukti dalam kasus penipuan investasi bodong. Meski telah terbukti menerima uang hasil penipuan tersebut, enam jaksa yang terlibat hanya dijatuhi sanksi etik, sementara aktor utama dalam kasus ini, Azam Akhmad Akhsya, dihukum penjara selama sembilan tahun. Keputusan ini memunculkan banyak pertanyaan, terutama soal integritas sistem peradilan yang diwakili oleh jaksa sebagai garda terdepan penegak hukum.

Kasus Penggelapan yang Dimulai dari Platform Fahrenheit

Kasus ini bermula dari platform investasi robot trading Fahrenheit yang dikelola oleh PT FSP Akademi Pro. Pada awal 2022, platform ini menawarkan keuntungan investasi yang menggiurkan—15 hingga 30 persen per bulan—namun mulai gagal memberikan janji tersebut. Ketika para investor kesulitan menarik uangnya, pihak berwajib turun tangan dan menangkap sejumlah tersangka, termasuk Susanto, bos dari PT FSP Akademi Pro.

Selama proses penyidikan, barang bukti yang berupa uang senilai puluhan miliar rupiah disita oleh polisi untuk dikembalikan kepada korban. Namun, dalam proses eksekusi, jaksa Azam Akhmad Akhsya justru terlibat dalam penggelapan uang barang bukti tersebut, yang berujung pada penjatuhan hukuman terhadapnya.

Enam Jaksa Mendapatkan 'Tutup Mulut' dari Azam

Dalam sidang yang digelar pada 2025, terungkap bahwa Azam, yang sebelumnya menjadi Kepala Subseksi Barang Bukti, menerima aliran dana sebesar Rp 17,7 miliar dari penggelapan uang korban. Sebagian dari uang itu, sekitar Rp 3,7 miliar, didistribusikan ke sejumlah pejabat di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, termasuk Kepala Kejaksaan Negeri Hendri Antoro.

Namun, meskipun dalam pengadilan Azam mengungkapkan siapa saja yang menerima uang tersebut, Kejaksaan Agung hanya menjatuhkan sanksi etik, bukan pidana, terhadap para jaksa penerima uang tersebut. Faktanya, jumlah uang yang disebarkan kepada enam jaksa ini cukup signifikan, mulai dari Rp 200 juta hingga Rp 500 juta per orang.

Keputusan Kejaksaan Agung: Salah Tempat?

Keputusan Kejaksaan Agung untuk tidak membawa enam jaksa itu ke ranah pidana menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk peneliti dan praktisi hukum. Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa setidaknya terdapat tiga unsur pidana yang bisa dikenakan kepada para jaksa tersebut—suap, gratifikasi, atau pencucian uang. Bahkan, jika dilihat dari sudut pandang prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), keputusan ini dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat.

Bhatara Ibnu Reza, Direktur Eksekutif Democratic Judicial Reform, juga menegaskan bahwa keputusan Kejaksaan Agung yang hanya memberikan sanksi etik menunjukkan bahwa sistem peradilan mungkin masih terjebak dalam budaya impunitas. "Tidak mungkin Azam melakukannya sendiri. Ada jaringan yang melibatkan banyak orang dalam penggelapan ini," tegasnya.

Pandangan Filosofis dan Budaya Hukum Indonesia

Kasus ini lebih dari sekadar tindakan kriminal individu. Ia mencerminkan sebuah dilema yang lebih luas dalam budaya hukum Indonesia—yaitu ketidakadilan yang terkadang muncul dalam sistem yang seharusnya menjadi pelindung keadilan itu sendiri. Para jaksa, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam penegakan hukum, malah terlibat dalam perbuatan yang merugikan banyak orang. Ini mengingatkan kita pada prinsip "pagar makan tanaman" dalam budaya Indonesia, di mana pihak yang seharusnya menjaga dan melindungi malah berbalik merugikan masyarakat.

Dari perspektif filosofi hukum, kasus ini juga menantang kita untuk bertanya: Sejauh mana keberlanjutan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum jika hal-hal seperti ini terus terjadi? Pemberian sanksi etik kepada para jaksa justru semakin memperburuk citra penegakan hukum, yang seharusnya menjadi contoh moral bagi masyarakat.

Dampak Jangka Panjang terhadap Sistem Hukum dan Masyarakat

Kasus ini, meskipun berfokus pada penggelapan barang bukti dalam satu kasus investasi bodong, membawa dampak yang lebih luas bagi sistem hukum Indonesia. Jika praktik serupa terus dibiarkan, tidak hanya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum yang akan tergerus, tetapi juga kredibilitas sistem hukum Indonesia di mata dunia internasional.

Bagi masyarakat, kehadiran keadilan yang tidak tuntas menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum, yang berisiko pada ketidakstabilan sosial. Ini adalah peringatan bahwa pengawasan terhadap aparat penegak hukum harus semakin diperketat dan transparansi dalam proses hukum harus lebih diutamakan.

Dengan kasus ini, kita diingatkan bahwa penerapan hukum tidak hanya soal hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kriminal, tetapi juga soal bagaimana sistem hukum itu menjaga martabatnya. Ketika keadilan gagal ditegakkan dengan sepenuhnya, kita semua, sebagai bagian dari masyarakat, merasakan dampak dari ketidakadilan itu.

Posting Komentar