Makan Bergizi Gratis: Ketika Niat Baik Berujung Risiko
Tak ada yang menyangkal bahwa gizi anak Indonesia adalah masalah serius. Angka stunting yang masih di kisaran 19 persen adalah tamparan bagi bangsa yang katanya sedang menuju negara maju. Maka, ketika Presiden Prabowo Subianto menggagas program Makan Bergizi Gratis (MBG), banyak yang menganggapnya sebagai langkah progresif—setidaknya di atas kertas. Tapi, di lapangan, niat baik itu justru berubah menjadi keraguan, ketakutan, bahkan tragedi.
Di Sukahati, Cibinong, misalnya, 96 persen orang tua murid taman kanak-kanak sepakat menolak program MBG. Alasannya sederhana dan menyakitkan: mereka takut anak-anaknya keracunan. Kekhawatiran ini bukan paranoia. Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan sudah lebih dari 11 ribu anak, guru, dan ibu hamil menjadi korban keracunan MBG. Ini bukan sekadar “kasus insidental”, tapi tanda bahwa kebijakan ini diluncurkan tanpa kesiapan yang matang.
Kebijakan yang Mendahului Akal Sehat
Bagaimana mungkin program senilai ratusan triliun rupiah diluncurkan tanpa payung hukum yang jelas? Hingga Oktober 2025, Peraturan Presiden tentang tata kelola MBG belum juga ditandatangani. Artinya, distribusi makanan ke puluhan juta anak dilakukan dalam ruang abu-abu hukum dan pengawasan.
Lebih parah lagi, sebagian besar dapur penyedia makanan—yang disebut satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG)—belum memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Maka, keracunan massal yang terjadi bukan kecelakaan, tapi konsekuensi logis dari kebijakan yang mendahului akal sehat.
Salah Sasaran, Salah Fokus
Tujuan MBG memang mulia: menurunkan angka stunting. Namun, para ahli gizi justru menyebut bahwa fokusnya keliru. Stunting terjadi pada masa seribu hari pertama kehidupan, yaitu sejak janin dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Memberi makan bergizi kepada anak SD atau TK tidak akan memperbaiki stunting yang sudah terjadi.
Ahli gizi Tan Shot Yen bahkan menyebut menu MBG sering kali tidak sesuai dengan standar gizi seimbang—lebih mirip nasi kotak katering daripada “isi piringku”. Beberapa menu cepat saji dan minuman bergula bahkan jauh dari kata bergizi. Jika seperti itu kualitasnya, bagaimana mungkin program ini bisa disebut solusi gizi nasional?
Korban Kebijakan yang Terburu-buru
MBG diluncurkan dengan semangat populis—cepat, masif, dan penuh janji. Tapi justru di situ letak bahayanya. Program sebesar ini seharusnya diawali dengan pilot project yang terukur, bukan langsung digelontorkan ke 34 juta penerima. Mengganti isi piring jutaan anak tanpa sistem pengawasan yang rapi sama saja dengan menjadikan mereka kelinci percobaan kebijakan.
Korban keracunan adalah tanda paling nyata bahwa pemerintah belum siap. Dan ketika ribuan anak jatuh sakit, kita tak bisa lagi bersembunyi di balik slogan “pemerintah akan selalu hadir”.
Mengabaikan Akar Masalah
Stunting bukan sekadar soal makanan di sekolah. Ia berakar pada kemiskinan, kebersihan lingkungan, sanitasi buruk, dan akses gizi sejak kehamilan. Memberi anak usia sekolah sepiring nasi dan lauk pauk tidak akan memperbaiki kondisi bayi di desa terpencil yang kekurangan gizi sejak dalam kandungan.
Jika pemerintah serius, fokuslah pada intervensi gizi ibu hamil, program imunisasi, sanitasi lingkungan, dan pendidikan gizi keluarga. Itulah cara yang terbukti menekan stunting—bukan dengan distribusi massal makanan yang belum tentu sehat dan aman.
Menata Ulang, Bukan Menambal Luka
Program makan bergizi gratis tidak salah pada niatnya. Tapi niat baik tanpa perencanaan matang adalah bentuk lain dari abai. Pemerintah harus berani menunda, mengevaluasi, dan menata ulang program ini. Pastikan aspek keamanan pangan, sertifikasi dapur, dan sasaran penerima benar-benar sesuai.
Karena jika tidak, program yang seharusnya menjadi simbol perhatian negara terhadap gizi anak justru akan dikenang sebagai kebijakan yang menelan korban—bukan menyelamatkan mereka.

Posting Komentar