Pengangkatan Jenderal TNI di Bulog: Antara Pencapaian Instan dan Tantangan Ketahanan Pangan

Table of Contents


Pangan adalah salah satu fondasi dasar sebuah negara. Tanpa ketahanan pangan, negara akan rentan terhadap masalah sosial, politik, dan ekonomi. Untuk itu, pengelolaan sektor pangan bukan hanya soal mengamankan pasokan, tetapi juga bagaimana membangun sebuah sistem yang efisien, berkelanjutan, dan adil. Namun, pengangkatan Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog, yang diumumkan pada Februari 2025, menghadirkan perdebatan besar—terutama soal apakah TNI, sebagai lembaga militer, dapat memimpin sektor yang sepenuhnya sipil seperti pangan.

Kontroversi Pengangkatan Jenderal TNI di Bulog

Kebijakan Menteri BUMN Erick Thohir yang menunjuk Novi Helmy memicu protes dari berbagai pihak. Khudori, pegiat ekonomi politik dari AEPI, bahkan menyebut penunjukan ini mirip dengan “mengganti sopir” pada mobil yang sudah ada masalah besar pada pemiliknya. Kritikan ini bukan tanpa alasan. Bulog, lembaga yang memiliki peran penting dalam ketahanan pangan nasional, seharusnya dipimpin oleh seseorang yang memahami seluk-beluk dunia pangan, bukan hanya sekadar kemampuan komando atau disiplin militer.

Namun, pernyataan dari Anggota DPR Riyono memberikan perspektif berbeda. Menurutnya, posisi Direktur Bulog idealnya diisi oleh profesional yang memiliki latar belakang dalam manajemen pangan. Pangan bukan sekadar masalah distribusi, tetapi juga soal keberlanjutan ekosistem, kesejahteraan petani, dan kestabilan harga. Maka, pertanyaan yang muncul adalah: apakah keahlian seorang prajurit aktif cukup untuk mengelola sektor pangan yang membutuhkan keahlian lebih mendalam?

Pelibatan Militer dalam Pengelolaan Pangan: Apa Saja Risikonya?

Pada dasarnya, pengelolaan pangan adalah soal integrasi antara produksi, distribusi, dan stabilitas harga. Tidak hanya itu, sebuah kebijakan pangan harus bisa memperhitungkan dampak lingkungan dan sosial yang dihasilkan. Masalahnya, keterlibatan TNI dalam proyek food estate yang dikelola bersama Kementerian Pertanian sejak 2020 menunjukkan bahwa pendekatan monokultur dalam skala besar bisa berbahaya. Penanaman singkong di lahan gambut Kalimantan Tengah yang dilakukan dengan semangat yang tinggi justru berujung pada deforestasi dan kerusakan lingkungan yang masif. Ini menjadi bukti bahwa pendekatan militer sering kali lebih mengutamakan target jangka pendek daripada dampak jangka panjang yang lebih berkelanjutan.

Salah kaprah dalam pengelolaan lahan gambut dan monokultur pangan adalah hasil dari kurangnya pemahaman terhadap ekosistem yang ada. Dalam hal ini, pengelolaan pangan yang melibatkan militer sering kali terjebak dalam pola top-down, di mana keputusan dibuat secara terpusat tanpa memperhitungkan kondisi lokal dan keahlian profesional yang diperlukan dalam setiap aspek pertanian.

Wahyu Perdana, manajer kampanye Pantau Gambut, menjelaskan bahwa kegagalan proyek food estate di Kalimantan Tengah disebabkan oleh ketidakpahaman terhadap karakteristik tanah gambut yang tidak cocok untuk jenis tanaman tertentu. Bahkan lebih jauh, militer yang terlibat dalam proyek besar seperti ini tidak memiliki keahlian dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam yang kompleks. Maka, ketika proyek serupa gagal, ada rasa cemas bahwa penempatan militer di Bulog bisa mengulang kesalahan yang sama: fokus pada pencapaian jangka pendek tanpa memperhatikan keberlanjutan.

Keahlian dalam Pengelolaan Pangan: Urgensi untuk Profesionalisme

Jika kita melihat pengalaman masa lalu, seperti yang disampaikan oleh anggota Komisi IV DPR, penunjukan profesional di sektor pangan jauh lebih dibutuhkan daripada sekadar penggantian kepala untuk kepentingan administratif atau politis. Sektor pangan membutuhkan manajer yang tahu betul bagaimana merancang sistem distribusi yang efisien, serta mampu berinovasi untuk menghadapi tantangan masa depan, seperti perubahan iklim dan ketidakpastian harga pangan global.

Erick Thohir sendiri menjelaskan bahwa penunjukan Novi sebagai Direktur Bulog bertujuan untuk mempercepat target serapan gabah, yang merupakan instruksi langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Namun, apakah jenderal militer dapat menghadapi tantangan tersebut dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan sektor pangan yang terus berkembang? Menurut banyak pengamat, pendekatan yang lebih berbasis pada keahlian dan riset pangan yang berbasis data akan jauh lebih efektif dalam menghadapi tantangan jangka panjang ketimbang sekadar menargetkan hasil instan.

Dampak Jangka Panjang: Pengelolaan Pangan atau Ketergantungan pada Militer?

Sementara ada klaim bahwa langkah ini akan mempercepat pencapaian ketahanan pangan, ada risiko besar yang tidak boleh diabaikan. Jika kebijakan ini berlanjut, Indonesia mungkin terjebak dalam pola pengelolaan pangan yang sangat terpusat dan bergantung pada kekuatan militer, yang lebih menekankan pada kekuasaan daripada pada kolaborasi antara sektor publik, swasta, dan masyarakat.

Apakah Indonesia akan terus bergantung pada pendekatan yang menekankan pada otoritas semata, ataukah negara ini bisa beralih ke model yang lebih inklusif dan berbasis keahlian untuk menciptakan sistem pangan yang berkelanjutan? Ini adalah pertanyaan yang perlu dijawab dengan bijak, karena ketahanan pangan bukan hanya soal memenuhi angka produksi beras, tetapi bagaimana memastikan keberlanjutan sistem pangan yang menguntungkan semua pihak, terutama para petani dan konsumen.

Kontroversi mengenai pengangkatan Jenderal TNI sebagai Kepala Bulog menunjukkan bahwa ketahanan pangan Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih cermat dan berlandaskan keahlian. Ke depan, kita perlu memastikan bahwa kebijakan pangan tidak hanya sekadar didorong oleh keputusan administratif atau ambisi sesaat, tetapi harus didasari oleh riset, profesionalisme, dan keberlanjutan yang berpihak pada rakyat dan lingkungan. Karena pada akhirnya, pangan adalah hak asasi yang tidak bisa diserahkan begitu saja kepada siapa pun tanpa pertimbangan yang matang.

Posting Komentar