Student Loan di Indonesia: Solusi Biaya Kuliah atau Jerat Utang Baru?
Beberapa waktu lalu, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi kembali menghidupkan wacana lama: student loan, atau skema pinjaman biaya kuliah untuk mahasiswa. Gagasan ini bukan hal baru. Indonesia pernah mencobanya di masa Orde Baru dengan nama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI), dan hasilnya jauh dari ideal. KMI dibekukan karena macet: utang tak dibayar, dana tak tepat sasaran.
Kini, wacana serupa dihidupkan lagi dengan jubah baru dan janji "lebih lunak". Tapi sebelum kita tepuk tangan menyambutnya, barangkali kita perlu bertanya ulang: apakah student loan benar-benar solusi? Atau justru jebakan baru yang dikemas manis?
Negara, Pendidikan, dan Hak Dasar
Dalam pembukaan UUD 1945, pendidikan disebut sebagai salah satu tujuan bernegara: mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, pendidikan bukan urusan pribadi, bukan pilihan, dan bukan barang mewah. Ia adalah hak dasar warga, sama seperti hak hidup atau hak atas pelayanan kesehatan.
Maka ketika pendidikan tinggi—yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial—justru dibebani pinjaman, kita perlu bertanya: apakah negara sedang memindahkan tanggung jawab kolektif kepada individu?
Skema pinjaman secara filosofis mengandaikan bahwa pendidikan adalah investasi pribadi, bukan tanggung jawab bersama. Negara cukup menyediakan jalan; soal bisa lewat atau tidak, tergantung Anda punya kendaraan apa. Padahal, dalam logika keadilan sosial, tidak semua orang berangkat dari tempat yang sama.
Daya Serap Buruk, Risiko Lebih Besar
Pemerintah kerap menunjuk negara-negara maju sebagai contoh sukses student loan. Tapi itu pun perlu dicermati ulang.
Amerika Serikat, misalnya, tengah menghadapi krisis utang mahasiswa. Total utang pendidikan di negeri itu sudah menyentuh US$ 1,7 triliun. Jutaan anak muda terjebak dalam lingkaran cicilan tanpa jaminan pekerjaan yang layak. Bahkan presiden negeri itu harus merancang kebijakan pengampunan utang sebagai langkah darurat.
Lalu, apa kabar Indonesia? Dengan daya serap kerja lulusan universitas yang rendah, upah minimum yang stagnan, dan ketimpangan ekonomi yang akut, skema pinjaman justru bisa menjadi jebakan hidup panjang: kuliah dengan utang, lulus tanpa kerja, lalu jatuh ke lubang gagal bayar.
Pinjaman Vs. Budaya Gotong Royong
Kita juga lupa, bahwa dalam budaya Indonesia, pendidikan selama ini ditopang oleh prinsip gotong royong. Anak kuliah bisa dibantu saudara, tetangga, bahkan iuran masjid. Dalam masyarakat yang masih kuat nilai sosialnya, pendidikan adalah usaha kolektif, bukan urusan individu.
Skema student loan yang menekankan pembiayaan pribadi dengan bunga dan tenor waktu justru melemahkan semangat ini. Ia mendorong individualisme dalam perkara yang mestinya dikerjakan bersama.
Yang Perlu Diperkuat: Beasiswa dan Reformasi UKT
Lantas, kalau bukan pinjaman, apa solusinya?
Pertama, perluasan beasiswa berbasis kebutuhan, bukan semata prestasi. Beasiswa seperti KIP-K harus diperluas cakupannya, bukan dipersempit.
Kedua, reformasi sistem UKT agar tidak menjadi mekanisme pendanaan kampus yang tak terkendali. Banyak kampus negeri kini berlomba mengutip uang pangkal dan UKT tinggi, meski statusnya masih PTN.
Ketiga, subsidi silang dari industri dan dunia usaha yang menjadi penerima manfaat dari lulusan pendidikan tinggi. Di banyak negara, dunia usaha ikut membiayai pendidikan sebagai investasi masa depan tenaga kerja.
Pendidikan Tak Boleh Menjadi Jalan Menuju Utang
Kita tak menolak inovasi pembiayaan pendidikan. Tapi kita juga tidak boleh lupa: pendidikan tinggi adalah hak, bukan utang. Negara hadir bukan untuk memberi jalan kepada mahasiswa meminjam, tapi untuk memastikan bahwa mahasiswa tak perlu meminjam untuk belajar.
Maka, sebelum gegabah membuka pintu pinjaman pendidikan, pemerintah seharusnya duduk tenang, melihat sejarah, menakar risiko, dan bertanya ulang: apakah ini solusi jangka panjang, atau sekadar jalan pintas yang mahal harganya?
Mahasiswa bukan nasabah. Jangan jadikan kampus seperti bank, dan jangan biarkan ijazah dicetak dari mesin cicilan.
Kolom ini ditulis sebagai refleksi atas rencana pemerintah membentuk lembaga pinjaman biaya pendidikan mahasiswa. Kami mengundang pembaca untuk berdiskusi dan mengirimkan opini terkait isu pendidikan tinggi di Indonesia.

Posting Komentar